Kejahatan Di Internet Yang Sering Terjadi

Sejalan dengan kemajuan teknologi informatika yang demikian pesat, melahirkan internet sebagai sebuah fenomena dalam kehidupan umat manusia. Internet, yang didefinisikan oleh TheU.S. Supreme Court sebagai: “international network of interconnected computers” (Reno v. ACLU, 1997), telah menghadirkan kemudahan-kemudahan bagi setiap orang bukan saja sekedar untuk berkomunikasi tapi juga melakukan transaksi bisnis kapan saja dan di mana saja.

Kejahatan yang sering terjadi adalah :

· Illegal Contents

· Merupakan kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum. Sebagai contohnya adalah pemuatan suatu berita bohong atau fitnah yang akan menghancurkan martabat atau harga diri pihak lain, hal-hal yang berhubungan dengan pornografi atau pemuatan suatu informasi yang merupakan rahasia negara, agitasi dan propaganda untuk melawan pemerintahan yang sah, dan sebagainya.

· Data Forgery

· Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scriptless document melalui internet. Kejahatan ini biasanya ditujukan pada dokumen-dokumen e-commerce dengan membuat seolah-olah terjadi “salah ketik” yang pada akhirnya akan menguntungkan pelaku.

· Cyber Espionage

· Merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer (computer network system) pihak sasaran. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap saingan bisnis yang dokumen ataupun data-data pentingnya tersimpan dalam suatu sistem yang computerized.

· Cyber Sabotage and Extortion

· Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu logic bomb, virus komputer ataupun suatu program tertentu, sehingga data, program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku. Dalam beberapa kasus setelah hal tersebut terjadi, maka pelaku kejahatan tersebut menawarkan diri kepada korban untuk memperbaiki data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang telah disabotase tersebut, tentunya dengan bayaran tertentu. Kejahatan ini sering disebut sebagai cyber-terrorism.

Dapatkah anda menuntut perusahaan tersebut dengan menggunakan peraturan hukum yang ada?

1. Masalah Locus Delicti

Apabila anda menjadi korban penipuan lewat internet (via e-mail), atau karena membeli barang tidak dikirim oleh penjual atau kartu kredit anda dipakai secara tidak sah, bagaimana anda menentukan dimana tindak pidana tersebut terjadi? Apakah di lokasi anda atau dilokasi penjual?

2. Masalah Tempus Delicti

Masalah lainnya lagi apabila kejahatan tersebut terjadi adalah kapan terjadinya? Apakah sewaktu kartu kradit anda digunakan orang yang tidak berhak atau sewaktu anda membuka komputer atau sewaktu informasi tentang penipuan tersebut diketahui?

3. Masalah Jurisdiksi

Masalah domisili adalah menyangkut lokasi yang diperlukan untuk menentukan locus delicti apabila terjadi kejahatan. Dan hal ini berhubungan pula dengan pendirian, pendaftaran dan pembayaran pajak perusahaan penyedia internet dan penyelenggara situs web. Sedangkan masalah jurisdiksi berkaitan dengan wewenang pengadilan, tempat kejadian perkara, tempat pengajuan gugatan, dsb.

a. Jurisdiksi subjektif

Jurisdiksi subjektif adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu kasus atau perselisihan berdasarkan subjeknya. Pengadilan memiliki jurisdiksi terbatas dalam mengadili persengketaan atau kasus, pembatasan ini adalah berdasarkan batas geografis, berdasarkan jumlah uang yang dipersengketakan, atau berdasarkan subjek dari perselisihan itu sendiri. Apabila pengadilan tidak mempunyai kewenangan atau jurisdiksi untuk mengadili suatu kasus atau sengketa maka pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut tidak dapat meminta pengadilan untuk mengadilinya. Demikian pula para penggugat atau tergugat tidak bisa dilarang untuk menggugat kewenangan pengadilan dengan dasar ketidak adaan kewenangan tersebut, baik dalam tingkat pertama atau dalam tingkat banding.

b. Jurisdiksi prosedural

Jurisdiksi prosedural adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili pihak-pihak yang bersengketa atau terlibat suatu kasus. Pengadilan hanya dapat mengadili dan memutuskan perkara suatu kasus apabila ia mempunyai jurisdiksi prosedural atas pihak-pihak dan hanya dengan jurisdiksi ini pengadilan dapat mengambil keputusan yang mengikat mengenai suatu perkara yang dibawa kepadanya oleh pihak-pihak yang bersengketa.

Berikut diberikan uraian singkat mengenai masing-masing point diatas, dengan mengambil perbandingan dari sistem hukum yang berlaku di negara bagian New York, Amerika Serikat. Perbandingan ini akan dirasakan perlu dalam praktek penyelesaian sengketa yang timbul di media internet yang bersifat global dan tidak mengenal batas-batas territorial suatu negara. Ketiadaan batas ini menyebabkan ada baiknya kita mempelajari dan mengetahui sistem hukum dari berbagai negara mengenai jurisdiksi ini terutama dari suatu negara yang paling banyak pengaruhnya bagi media internet.

1) Jurisdiksi in personam

Jurisdiksi in personam meliputi tindakan yang dapat memaksakan kewajiban secara personal terhadap seseorang (misalnya, membayar sejumlah uang, untuk mempertanggungjawabkan suatu tindakan, untuk melaksanakan tindakan tertentu, untuk tidak melakukan tindakan tertentu). Sebaliknya, jurisdiksi “in rem” dan “quasi in rem” terbatas pada tindakan terhadap harta benda bukan terhadap orang atau person, dan keputusan yang didasarkan kepada jurisdiksi in rem atau quasi in rem tidak memaksakan suatu tindakan terhadap seseorang karena yang diadili bukan orangnya.

2) Jurisdiksi in rem

Merupakan penentuan status atau pelepasan hak milik, kepemilikan, kontrol, atau hak atas suatu harta yang berada di wilayah hukum suatu pengadilan. Keberadaan suatu harta benda di wilayah pengadilan tertentu memberikan dasar jurisdiksi kepada pengadilan tersebut untuk mengadili perkara yang timbul atas harta benda tersebut.

Dalam gugatan terhadap suatu harta benda tidak diperlukan adanya penyitaan meskipun sebenarnya penyitaan ini diperlukan untuk menjaga keamanan harta benda tersebut. Penyitaan ini merupakan salah suatu tindakan hukum yang dibenarkan oleh undang-undang. Akan tetapi dalam hal gugatan atas suatu rumah tempat tinggal, dimana tidak terdapat jurisdiksi personal atas tergugat maka pengadilan berkewajiban untuk melakukan penyitaan.

Gugatan berdasarkan jurisdiksi in rem atas harta benda perkawinan adalah gugatan atas hak atas harta benda yang tidak berwujud. Domisili dari hak itu adalah pada domisili yang sah dari pasangan dari perkawinan tersebut. Akan tetapi, bila salah satu dari pasangan itu meninggal dunia maka harta perkawinan dengan sendirinya bubar, dengan demikian jurisdiksi in remnya hilang. Hal ini terdapat dalam kasus Carr v. Carr ( 46 N.Y 2d 270 (1978)). Harap diketahui bahwa gugatan atas harta perkawinan gugur bila pasangannya meninggal, akan tetapi berdasarkan peraturan tentang domisili yang terdapat pada Domestic Relations Law Section 140(e), suatu gugatan yang didasarkan atas adanya penipuan tidak berakhir bagi pihak yang menjadi korban penipuan.

3) Jurisdiksi quasi in rem

Jurisdiksi quasi in rem memberi kesempatan pada penggugat untuk meminta sita jaminan terhadap harta benda yang berupa harta riil atau harta personil dari tergugat yang berada dalam wilayah kewenangan pengadilan dan menggunakan harta benda tersebut sebagai dasar jurisdiksi dan untuk memenuhi gugatan dari tergugat.

Harta benda tersebut harus mempunyai hubungan yang cukup dengan kasus yang sedang digugat dan tidak bertentangan dengan hukum acara yang berlaku (kasus Shaffer v.Heitner, 433 US 186 (1977)). Keberadaan semata-mata harta benda milik tergugat dalam wilayah kewenangan pengadilan tidak cukup bagi pengadilan untuk menjadi dasar untuk pelaksanaan jurisdiksi quasi in rem atas harta benda tersebut. Hal utama yang harus dipenuhi adalah adanya hubungan yang cukup antara tergugat, wilayah pengadilan dan masalah yang disengketakan, hal ini dapat dilihat dalam kasus Shaffer v. Heitner, 433 US. 186, 204 (1977).

Bila penggugat memenangkan perkara maka kemenangan itu hanya sebatas nilai dari harta benda yang disita.

Untuk mendapatkan jurisdiksi quasi in rem yang sah, seseorang harus lebih dahulu mendapatkan putusan pengadilan ex parte dan mendapatkan surat sita dari pihak yang berwenang atas harta benda tergugat.

Pengadilan mempunyai jurisdiksi quasi in rem setelah pihak yang berwenang melakukan penyitaan atas harta benda dan menyampaikan surat pemberitahuan kepada tergugat tentang penyitaan tersebut.

Untuk melakukan penyitaan harus ada hubungan yang nyata antara harta benda tersebut dengan kasus yang sedang diperkarakan.

Kasus klasik mengenai keabsahan jurisdiksi quasi in rem terjadi ketika suatu perusahaan yang berdomisili di New York mengajukan gugatan di pengadilan New York terhadap dua orang yang bukan penduduk New York. Kasus Bache Halsey Stuart Shields, Inc.,v. Garmaise, 519 F Supp. 682 (S. D. N. Y 1981).

Penggugat mengajukan gugatan atas dasar adanya suatu perjanjian pembelian saham (stock purchase agreement) yang ditawarkan dan dilaksanakan di New York. Pengadilan tingkat banding (The Appellate Division) memberlakukan jurisdiksi quasi in rem yang dimintakan oleh penggugat atas penyitaan dana escrow sebesar $900,000 yang di deposit di Irving Trust di New York.

Dana escrow, yang menjadi subjek penyitaan ini, secara langsung berhubungan dengan perjanjian yang menjadi dasar dari gugatan hukum ini. Dalam hal ini, karena tidak ada aturan hukum yang mengatur maka logika atau pertimbangan akal sehatlah yang menjadi dasar untuk memberlakukan jurisdiksi quasi in rem, meskipun jurisdiksi in personam kemungkinan dapat pula diberlakukan.

Contoh lainnya adalah kasus Unitech USA, Inc.v. Ponsoldt, 91 A. D. 2d 903 (1 st Dept, 1983).

Sebuah kasino di Nevada menggunakan jurisdiksi quasi in rem di pengadilan negara bagian New York State untuk menjatuhkan sita atas rekening bank tergugat non-resident di sebuah bank di New York sebesar $650,000 meskipun hutang tersebut timbul di Nevada.

Upaya tergugat untuk menggunakan hubungan perbankan New York untuk mendapatkan kredit dari penggugat untuk keperluan perjudian tergugat di kasino milik penggugat telah memenuhi persyaratan hubungan minimal untuk melaksanakan jurisdiksi quasi in rem terhadap rekening bank New York, khususnya, apabila tergugat menggunakan rekening bank New York itu sebagai referensi untuk mendapatkan kredit dan untuk menerbitkan bank draft untuk pembayaran hutang judinya yang kemudian tidak dapat dibayar.

Keputusan atas quasi in rem tidak tergantung pada res judicata[1] atau collateral estoppel[2] apabila harta benda yang disita di New York tidak dapat memenuhi keseluruhan tanggungjawab yang digugat oleh penggugat. Kemudian apabila penggugat mengajukan gugatannya di negara bagian lain, maka ia harus memperbaharui dasar gugatan dan permohonan ganti ruginya. Akan tetapi, ada beberapa pendapat yang cukup berpengaruh yang menyatakan bahwa bila penggugat kalah dalam gugatan quasi in rem, maka tergugat dapat mengajukan perlawanan berdasarkan doktrin collateral estoppel untuk menolak gugatan di forum lain.

Perlu diketahui bahwa doktrin forum non convenient dapat pula digunakan untuk memohon agar pengadilan menolak jurisdiksi quasi in rem seperti dalam kasus Hadjioannou v. Avramides, 40 N. Y 2d 929 (1976).


Free Blogspot Templates by Isnaini Dot Com and Bridal Dresses 2009.